Simak resensi Buku Memoar Mahbub Djunaidi oleh bro Willy Dreeskandar, mantan Pemred Motorplus, pengusaha part ternama di bawah bendera F-16. Ia adalah wartawan senior Otomotif dan Motorplus. Dibawah kepemimpinannya Tabloid Motorplus jadi salah satu ‘telur emas’. Kelompok Kompas Gramedia. Biker tulen yang dipanggil si Jangkung oleh bosnya, bapak Jakob Oetama ini terkenal saklek dan teliti saat dulu memeriksa naskah anak buahnya.
Kita simak sama – sama resensi bro Willy!
Resensi Buku “Bung, Memoar Tentang Mahbub Djunaidi”
“Kehidupan itu adalah tragedi jika dilihat close-up. Sebaliknya, kehidupan adalah komedi jika ia dilihat dari jauh,” begitu kata Charlie Chaplin. Tapi lain yang dibilang Plato, “Seluruh kehidupan adalah tragedi.”
Menjadi bijak itu mudah, sangat mudah. Sebaliknya, menjadi lucu itu sulit. Orang bijak ada sekolahnya. Orang lucu tidak ada kursusnya.
Kelucuan biasanya dilahirkan dari kecerdasan. Orang lucu pasti cerdas. Sementara orang cerdas tidak selalu lucu.
Cengengesan ala Charlie Chaplin, lucu dan cerdas. Begitu cuplikan Fariz Alniezar, lurah di Omah Aksoro. Dan katanya juga, satu paket kecerdasan dan kelucuan itu ada pada Mahbub Djunaidi. Bung Karno, Bung Tomo dan gerombolan cucu-cucunya memanggilnya “Bung”. Sedangkan kawan-kawan dekat seangkatan dan seperjuangan menyapanya “Kak Abu”.
Resensi buku “Bung” ini, dibagi menjadi 9 sesi. Yakni :
- Mahbubian Jazz
- Burung Parkit di Kandang Macan, kata pengantar oleh Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Agama RI
- Kebon Kacang Raya (Tanah Abang) Seharusnya Jl. Mahbub Djunaidi
- Mahar Nikah, Bebaskan Calon Nenek Mertua, Tahanan Tuduhan Pemberontakan PRRI-Permesta
- Dipenjara Bareng Bung Tomo, Omar Dhani, Soebandrio
- Kata Ganti Orang ke-3
- Dekat Dengan Bung Karno dan Hampir Jadi Menantunya
- Kejahilan, Kelucuan, Kecerdasan Si Bung
- Tentang Penulis
Jika (harapan dan moga) Anda bilang resensi ini bagus, itu karena buku aslinya luar biasa bagus. Dan kalau resensi ini tidak dianggap bagus, kesalahan bukan pada televisi Anda, atau HP Anda, atau komputer Anda. Tapi pasti salah si penulis resensi.
Tapi jika Anda tidak tergerak atau tertarik sedikit pun membaca buku “Bung, Memoar Tentang Mahbub Djunaidi” ini, maka sebaiknya Anda periksa ke dokter jiwa. Tanyakan pada dokter, “Dok, masih adakah jiwa pada diri saya?” Atau ke dokter internis dan penyakit dalam, tanya, “Dok, masih adakah hati dan perasaan pada diri saya?”
Mahbubian Jazz
5 Oktober 2017, kampus Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), bersamaan dengan acara Haul Mahbub Djunaidi Ke-22, buku “Bung : Memoar Tentang Mahbub Djunaidi” ini resmi diluncurkan. Kali ini, tajuk acaranya Mahbubian Jazz. Kolaborasi antara pembacaan puisi, orasi dan jazz.
Sambil menunggu kawan-kawan bandnya nyetem, sang penulis Isfandiari MD bercerita, “Papa Mahbub ketika punya cucu, bilang, ‘Gue udeh punye cucu ni hari. Gue kagak mau jadi tue bangke. Lu mesti panggil gue Bung!’”
Maka “Bung”, begitulah anak-cucunya menyapa Sang Pendekar Pena. “Bung” juga yang dipilih menjadi judul buku ini.
Mahbub Djunaidi meninggal pada 1995. Mahbub meninggal setelah menonton film ulang-berulang Pemberontakan G30S PKI, dan beberapa jam sebelum masuk tanggal merah 1 Oktober, Peringatan Kesaktian Pancasia. Bertahun-tahun dan belasan kali menontonnya, maka selama itu pula Mahbub selalu mengkritik, koreksi, dan mengomentari di mana dan apa-apa salahnya, harusnya begini-begini dan sebagainya.
Jadi, pada 30 September 1965, PKI membunuh 1 jendral, 2 mayor jendral, 3 letnan jendral, 1 kolonel, 1 kapten, 1 ajun inspektur polisi, 1 brigjen. Maka pada 30 September 1995, PKI membunuh Mahbub Djunaidi.
Burung Parkit di Kandang Macan
Buku ini langsung nonjok dengan Kata Pengantar – yang spesial ditulis sendiri – oleh Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Agama RI. Haul biasanya diadakan untuk mengenang kepergian Kyai atau Habib. Sementara Mahbub adalah jurnalis, penulis dan politikus. Dapat disimpulkan bahwa Mahbub dianggap setara dengan ulama atau dianggap besar.
Pria bertubuh tak besar dan tak kekar itu berani mengkritik orang-orang besar yang sedang berada di puncak kepemimpinannya. Ia menyoal Gus Dur, menyindir KH Saifuddin Zuhri, meyuarakan ikhwal suksesi di masa perkasanya rezim Soeharto.
Sang Menteri menyebutnya “Burung Parkit di Kandang Macan”. Sebab dia tak pernah lelah mengoceh di antara pembesar agama, sastra, hingga politik. Kata-katanya sarat makna, meski bikin ketawa. Tulisannya khas. Galak tapi bikin tergelak. Memikat Bung Karno karena menyebut Pancasila lebih sublim daripada Declaration of Independence-nya Amerika Serikat.
Mahbub adalah guru. Wajib digugu. Walau susah ditiru. Kita perlu belajar soal kejujuran bersuara, meski tak mudah meniru caranya. Bagaimana mengemukakan pendapat sebagaimana dia punya gaya.
Buku ini ibarat bulu perindu. Dalam khazanah budaya Nusantara, bulu perindu dipercaya memberikan tuah untuk memikat hati orang. Burung elang sengaja meletakkan bulu perindu di sarang untuk mengobati penyakit anaknya dan memperindah kicaunya. Bulu perindu memiliki ciri unik, bergerak melawan arus sungai, ke hulu, bukan ke hilir.
Isfandiari berhasil mengobati rindu kepada Mahbub, ayahnya. Berharap juga akan lahir kembali Sang Pendekar Pena. Walau ini adalah hil yang mustahal – istilah yang dipopulerkan oleh Mahbub.
Tapi melalui buku ini setidaknya Isfandiari membuktikan bahwa memang dia anak Mahbub. Walau mungkin hanya setetes dua tetes, terasa sekali adanya titisan Mahbub pada tulisan Isfandiari. Tulisannya jelas, lugas, kadang pedas, laiknya orang yang berbicara bebas. Mirip gaya Mahbub yang blak-blakan.
Buku ini tak hendak menyaingi gaya Mahbub mengupas isu-isu nasional. Tak pula jadi novel bertabur kata-kata khayal. Melainkan sebuah cerita sederhana seputar keseharian Mahbub Djunaidi yang di masanya dianggap fenomenal.
Jl. Kebon Kacang Raya (Tanah Abang) seharusnya Jl. Mahbub Djunaidi
Kebiasaan orang membaca, cari spot attention,yang mencolok, enteng, mudah dimengerti. Salah satunya ya foto-foto dan captionnya. Maka perhatian langsung tertuju ke Lampiran, yang berisi foto-foto. Terutama foto nomor 10, foto penulis bersama tokoh yang disapanya Om Ridho Baridwan (Al Irsyad Al Islamiyah). Teks fotonya berupa kutipan langsung Ridho, “Seharusnya Kebon Kacang Raya bernama Jalan Mahbub Djunaidi.”
Jadi pantaslah kisah seputar Kebon Kacang, Tenabang, menjadi saksi jati diri Mahbub Djunaidi.
Mahbub acap berdongeng mengantar tidur siang anak-anaknya. “Tidur siang itu warisan kolonial. Belanda totok, sinyo blasteran doyan tidur siang,” ujar Papa Mahbub.
Pendongeng kenamaan Tanah Abang waktu itu adalah Bang Dja’it. Dongeng-dongengnya selalu kocak dan bervariasi. Orang bisa begadang semalam suntuk mendengarkannya. Topik dongengnya, kisah heroik jagoan Betawi. Dari Pitung (bukan nama satu orang, tapi tujuh pendekar Jayakarta alias Pituan Pitulung alias Pitung), Ronda, Ji’ih atau Kong Sabeni, yang gape main pukulan. Hingga kerabat dekat Mahbub, notabene tokoh dan jagoan yang megang Tanah Abang. Di antaranya :
- Sang kakek, Abdul Azis Bin Sainan, jagoan Pasar Tenabang.
- Engkong Mohammad Alwi, alias Louis, blasteran Jerman bermata biru berjuluk Bunga Mawar dari Parsi, kakek dari Papa Mahbub dari pihak ibu.
- Siti Hasanah, alias Nyai Pitung, istri Abdul Azis, guru ngaji dengan ribuan murid dan galak tingkat dewa.
- Kyai Djunaidi alias Mbah Djun, anak Abdul Azis dan ayah Mahbub. Mbah Djun digambarkan sebagai orang yang necis dan luar biasa cool untuk ukuran warga Kebon Kacang 3, No. 43, Tanah Abang.
- Mbah Djun dan Papa Mahbud, sama-sama slordeg (cuek, asal-asalan). Mbah Djun sering dipanggil Bang Djuned. Dalam roman karya Mahbub Djunaidi, “Dari Hari ke Hari”, sang ayah digambarkan “Campuran kultur Belanda dan Islam. Bersiul bagai marsose. Bersikap seperti kyai.”
Ada nama Nyai Pitung dalam silsilah kerabat Mahbub. Maka wajar jika pembaca akan spontan menghubungkannya dengan Si Pitung (walau kenyataannya bukan nama satu orang). Maka lengkaplah, gabungan fakta silsilah keluarga dan cerita legenda, Mahbub Djunaidi adalah tokoh dan bagian sejarah Betawi itu sendiri.
Mahbub kecil, dibanding sang ayah, KH. Djunaidi alias Mbah Djun, bagai langit dan bumi. KH Djunaidi rapi dan tertib. Perilaku ini tak sepenuhnya bisa diwarisi. Mahbub lebih mirip kakeknya, Abdul Azis Bin Sainan, sang jawara Tanah Abang.
Sang ayah, meskipun memiliki kesempatan untuk tetap berada di Batavia dan bekerja bagi pemerintahan kolonial, memilih hidup sebagai pengungsi di Solo karena setia pada Republik. Setelah kekuasaan Republik dipulihkan lewat Konferensi meja Bundar, ia kembali menempati posisinya sebagai Kepala Pengadilan Tinggi agama Islam di Kementerian Agama.
Usia 27 tahun, Mahbub masuk ruang sidang DPR/MPR sebagai anggota parlemen termuda mewakili NU. Ia gigih memperjuangkan UU Pokok Pers. Wajar mengingat ia berlatar belakang jurnalis dan saat itu sekaligus menjabat Pemimpin Harian Duta Masjarakat. Konggres PWI November 1965, Mahbub terpilih menjadi ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan sebagai sek-jennya adalah Jakob Oetama (pendiri Kelompok Gramedia Kompas).
Mahar Nikah, Bebaskan Calon Nenek Mertua, Tahanan Tuduhan Pemberontakan PRRI-Permesta
“Cewek Betawi kawin ama cowok Padang mah banyak. Tapi jejaka Tenabang berani mempersunting cewek Minang… elu bole cari…,” bangga Mahbub.
Tapi syarat maharnya, mungkin ini satu-satunya di dunia. Yakni, bebaskan bunda calon mertua, Hj. Maryam Masidah, yang dituduh terlibat pemberontakan PRRI-Permesta di era pemerintahan Soekarno.
Syukurlah Mahbub waktu itu sudah ‘nyeleb’ jadi intelektualnya Nahdlatul Ulama dan dekat dengan Bung Karno. “Gue minta bantuan Pak Idham Chalid (Wakil Perdana Menteri kala itu). Lewat negosiasi tingkat tinggi, beres dah!” bangga Mahbub. Ibu Maryam melenggang keluar bui. Sontak, kepahlawanannya sohor di kerabat calon istri. Langsung tune-in dengan para Datuk kampung Kapau.
Dari pernikahannya, lahirlah 3 putri (Fairuz, Tamara, Mirasari) dan 4 putra (Rizal, Isfandiari, Yuri, Verdi Heikal). Soal romantisme cinta, Mahbub tak kalah dengan Baharudin Jusuf Habibi. Ada wasiatnya yang ditulis 1960 :
“Andaikata karna suatu hal aku tiada umur. Kepada siapa sadja jang menemukan surat ini, tolong sampaikan kepada adikku Asni Asymawie. Bahwa tjintaku abadi. Dialah kehidupanku. Di atas njawa dan tjintaku itu, aku berharap agar dia mengenang aku selama mungkin, memaafkan segala dosaku, supaya dia belajar terus dan memilih orang jang djauh lebih baik dari diriku sendiri. Dia adalah sempurna bagiku. Segala2nja…” (Mahbub Djunaidi, 1-2 Djuni 1960.)
Dipenjara Bareng Bung Tomo, Omar Dhani, Soebandrio
Ketika sedang menggendong Verdi Heikal yang belum genap setahun di pematang sawah di Bandung, dari jauh tampak rumahnya digerebek tentara. Mengobrak-abrik seisi rumah. 11 April 1978, Mahbub Djunaidi ditangkap atas tuduhan subversif. Itu lantaran tulisannya sering mengkritik rezim Orba dan Soeharto. Mahbub dijebloskan ke penjara Nirbaya (Interniran Berbahaya), persis di belakang Taman Mini Indonesia Indah. Sepertinya rezim Orde Baru menganggapnya musuh. Penangkapan dan dipenjarakannya Mahbub tanpa proses pemeriksaan, apalagi pengadilan.
Di Nirbaya inilah Mahbub bertemu tokoh-tokoh penting senasib. Di antaranya, Bung Tomo (penantang dan pemenang Pertempuran Surabaya atas tentara Sekutu), Omar Dhani (Komandan Pangkalan Militer TNI-AU Halim Perdanakusuma, dituduh terlibat G30S PKI), Soebandrio, dan tokoh-tokoh lain di dalam penjara Nirbaya, atau yang kerap mengunjunginya.
Om Sutomo (begitu anak-anak Mahbub menyapa Bung Tomo) diceritakan oleh Mahbub, “Bung Tomo ini orang hebat lho. Pasukan Inggris-Sekutu aja kabur. Pidatonya bikin rakyat Surabaya terbakar!”
Ceritanya, Mahbub dan Bung Tomo bergantian tugas cuci baju dan masak. Waktu giliran Bung Tomo masak, Mahbub menggodanya, “Hei, Bung! Unik juga sampeyan pakai kaos oblong, celana pendek, sambil masak. Beda waktu di Surabaya 10 November, gagah nian, berapi-api!” Yang digoda hanya terkekeh, “Begitulah, Bung… Rezim yang kejam,” ujar Bung Tomo.
Penghuni Nirbaya menganggap Bung Tomo aneh. Sang Pahlawan pemenang perang Surabaya ini kerap menangis. Terutama ketika pengibaran bendera Merah-Putih 17 Agustus di halaman Nirbaya. Di kamar tahanannya, 100 meter dari tiang bendera, Bung Tomo mengambil sikap tegap dan hormat bendera. Negara dan bendera yang dibelanya, tapi pemimpinnya malah menjebloskannya ke penjara. Sama seperti Mahbub.
Lain lagi Omar Dhani. Pangkatnya waktu itu Marsekal Madya TNI-AU (Purn). Orangnya gagah. Perlente sekali. Bung Karno menjulukinya Gatot Kaca. Di Nirbaya, Omar Dhani selalu dekat dan rembuk bareng anak-anak para tahanan. Ia perintahkan penjaga tahanan untuk menemani anak-anak tahanan itu keliling Taman Mini. Para penjaga malah senang diperintah jendralnya… dan refreshing gratis.
Kejadian lain, kantor wartawan Asia-Afrika tempatnya bekerja di dekat Bundaran HI, digusur. Seperti cerita sahabatnya, Andi Sahrandi, “Andi, lu kenal Bambang Tri, kan? Busyet dah, kantor gue dirubuhin Bimantara!” emosi Mahbub. “Lu mesti anter gue ke sana! Gedungnya diratain dengan tanah!” Sesampainya di sana, “Cariin mandornya dong. Di situ ada batu berisi tanda tangan gue dan Bung Karno, tanda peresmian gedung ini!” Sayang, batu prasasti berisi tanda tangan Mahbub dan Bung Karno lenyap berkeping digilas buldozer.
Kata Ganti Orang Ke-3
Banyak bacalah tulisan-tulisan Mahbub Djunaidi. Ini penting bagi penulis zaman sekarang. Atau setidaknya Anda yang mengaku sebagai penulis, wartawan, pewarta, di media cetak terkenal dan perusahaan besar, atau media online sarat sponsor, maupun blogger gratisan, atau apapun. Semuanya, tanpa terkecuali…, baca!
Penulis sekarang sangat sering menulis kata ganti orang ke-3 dengan kalimat, ‘pria ramah ini….” Dan entah kenapa, kata-kata itu acap muncul lagi, dan nongol lagi. Paling gampang memantaunya dari media cetak. Yang terjadi, bahkan dalam satu edisi terbitan, bisa ada dua-tiga penulis atau lebih, yang menulis ‘pria ramah ini’, sama plek, hanya beda halaman saja. Itu editornya gimana sih?
Coba simak cara Mahbub Djunaidi menggambarkan kata ganti orang ke-3. Ambil contoh, Idham Chalid dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) :
“Ambillah contoh di negeri awak. Idham Chalid itu, siapa yang tidak kenal dia? Perawakannya tipis, tak ubahnya dengan umumnya pedagang batu permata dari Banjar. Tapi dialah yang pegang rekor paling lama menduduki kursi kekuasaan politik negeri ini sejak 1956, dan paling lama punya menjabat pimpinan NU.
Dari wajah dan posturnya, Abdurrahman Wahid merupakan kebalikan yang mencolok. Orang yang disebut belakangan ini bertubuh gempal, ibarat jambu kelutuk yang ranum, berkaca mata tebal, bisa tidur di mana saja. Toh bisa sama-sama jadi Ketua NU.
Idham memiliki kelincahan logika yang tinggi, dan Abdurrahman Wahid punya kebolehan humor yang mengejutkan. Seakan-akan dia jambret begitu saja dari laci.”
Dwi Winarno, produser film dokumenter Mahbub Djunaidi dan Ketua Bidang Kaderisasi Nasional PB PMII, menulis :
“Membaca goresan pena Mahbub Djunaidi, kita akan dibuat melayang. Membaca menjadi aktivitas yang amat menyenangkan. Paragraf demi paragraf dilahap dalam waktu singkat. Membuat kita ingin lagi dan lagi meski pembaca sudah mencapai tanda titik dari kalimat terakhir. Tidak perlu berpendidikan tinggi, juga tidak perlu repot membuka berbagai kamus ilmiah populer atau non-populer sekalipun jika ada. Hanya membutuhkan sedikit kecerdasan dan menjaga otot pipi agar jangan putus mendadak akibat tingginya frekuensi tawa.”
Bayangkan, dengan hanya berbekal teknologi mesin tik djaman doeloe, Mahbub terbiasa berpikir dan mengetik ekstra cepat. Dengan mesin tik butut, pasti sulit dan merepotkan jika ada yang salah pada satu-dua huruf ketikannya, apalagi salah kalimat, apalagi paragraf, apalagi konsep dan dasar tulisan. Mahbub menumpahkannya semua hanya 1-2 jam saja, tanpa salah. Katanya, Mahbub bisa menulis dua tulisan sekaligus. Jika tidak sempat diketik siang hari di kantor redaksi Duta Masjarakat, maka ia membuatnya langsung di percetakan. Anda yang mengaku wartawan atau penulis dengan notebookkinclong Pentium mutakhir terakhir, bisa begitu?
Yuri Mahatma, putra ke-4 Mahbub, yang seorang musisi jazz, bercerita, “Waktu saya masih SD kelas 2, sekitar awal 80-an, Bung memberi hadiah novel ’80 Hari Keliling Dunia’. Novel ini diterjemahkan Bung dari karya Jules Verne. Saya ingat, tulisan tangan Bung di buku itu : ‘Hargai waktumu, bacalah buku!’”
Maka – saya, Anda, kamu, kalian, yang mengaku dirinya penulis, wartawan, perwarta, blogger – bacalah tulisan-tulisan Mahbub Djunaidi. Tulisannya akan mendidik kita. Dia panutan kita bagaimana menjadi penulis, pewarta, dan wartawan. Dengan membaca tulisannya, artinya kita bertanggung jawab pada pembaca kita dan profesi kita.
Dekat Dengan Bung Karno dan Hampir Jadi Menantunya
Dalam suatu tulisan di harian Duta Masjarakat, Mahbub mengemukakan pendapatnya bahwa Pancasila lebih sublim dibanding dengan Declaration of Independence-nya Thomas Jefferson yang menjadi pernyataan kemerdekaan Amerika Serikat, 4 Juli 1776. Juga lebih bermakna dibanding The Communist Manifesto-nya Karl Max dan Friedrich Engels pada 1847.
Bung Karno – setiap pagi – jadwal acara pertamanya adalah membaca tulisan Mahbub. Maka Mahbub diundang ke istana, diantar KH. Saifuddin Zuhri, pemimpin redaksi Duta Masyarakat. Dialog Bung Karno – Bung Mahbub begini :
“Ini yang namanya Mahbub Djunaidi?” sapa Bung Karno setelah bertatap muka dan berjabat tangan.
“Ya, Pak,” jawab Mahbub.
“Kok kerempeng begini,” sambil menuding dan memandang Mahbub dari ujung kaki sampai ujung rambut. Mahbub cuma nyengir. “Asal dari mana?”
“Jakarta”.
Dikejar lagi, “Asli Jakarta?”
“Ya, Pak.”
Dan masih dikejar lagi, “Jakarta mana?”
Mahbub menjawab, “Tanah Abang.” Pada waktu itu kawasan Tanah Abang masih tergolong tempat tinggalnya Betawi ‘medok’.
Bung Karno tak henti memandang dan mengangguk-angguk. “Orang tua, siapa namanya?”
“Haji Muhammad Djunaidi.”
Setelah paham yang dimaksud adalah Haji Djunaidi yang menjabat Kepala Biro Pengadilan Departemen Agama RI, Bung Karno terbata-bata berkomentar, “Lho.. lho.. lho… Kalau begitu Bapakmu dulu yang menikahkan saya dengan Hartini di Istana Cipanas….”
Terbilang sering Bung Mahbub ngobrol dengan Bung Karno. Dari banyak kesaksian dan tulisan, diceritakan Bung Karno sebenarnya berkenan mau menjodohkan Mahbub dengan salah satu putrinya. Kisah lain, di acara kenegaraan istana, Nyonya Mahbub Djunaidi pun pernah diajak menari Lenso oleh Bung Karno.
Tiga belas tahun setelah Bung Karno wafat, Mahbub menemui Rachmawati Soekarnoputri. Pesannya singkat, Haul Bung Karno agar dilaksanakan rutin tiap tahun. Makin top, pada Haul Bung Karno 1999, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) hadir bersama Megawati Soekarnoputri sebelum Pemilu.
Kejahilan, Kelucuan, Kecerdasan Si Bung
Cerita tentang candaan Si Bung Mahbub dengan Bung Tomo di penjara Nirbaya, itu cuma satu cerita kejahilannya di antara banyak jahil-jahil ekstrem yang lain. Itu bisa terjadi karena faktor talenta, kecerdasan dan kelucuannya. Faktor lain, seolah Si Bung ini memang sudah putus syaraf takutnya. Andi Sahrandi menulis, “Kak Abu (panggilannya ke Mahbub), orang unik yang nggak mungkin bisa ditemui lagi gantinya. Logikanya simpel, tapi kadang mengagetkan.”
Di penjara itu juga, Mahbub pernah mensabotase tanaman tokoh Subandrio. Mencukur sebelah kumis kakak dari Andi Sahrandi. Jahilnya benar-benar tingkat tinggi. Masih kata Andi, “Pernah pinjam telepon dan ngobrol dengan Gus Dur. Busyet, becandanya luar biasa. Di luar batas, tak terpikirkan sama sekali. Ha.. ha.. ha..!”
Soal nafkah misalnya, Mahbub tak pernah ambil pusing. “Cukup kok, honor nulis seratus dua ratus ribu buat dapur. Kalo duit abis, tinggal cari ide buat nulis lagi,” begitu katanya.
Pergaulannya orang-orang penting semua. Mulai dari pejabat sampai konglomerat. Kali waktu Si Bung ada acara ke Jogja. Ia pengen naik mobil. “Gue telepon direktur Astra buat pinjam mobil. Dan dikasih. Trus problem lain nongol, bensinnya kan lumayan? Nah, gue telepon direktur Pertamina minta kupon bensin, beres dah! Pernah juga kepepet kurang beras, gue telpon Bustanil Arifin (Menteri Bulog) minta sekarung-dua beras.” Memang nyeleneh!
Waktu berkunjung ke Gubernur DKI, Tjokropranolo, mau ngobrol ikhtiar dibangunnya Gedung Kesenian Betawi. Pagi sekali, ia sudah datang ke rumah dinas Sang Gubernur. Karena zonder prosedur, satpam rumah tak berani kasih izin Mahbub masuk. Ia jengkel ditahan begitu rupa. Beruntung, Tjokropranolo keluar rumah dan siap-siap pergi ke kantor. Melihat Mahbub, Tjokropranolo menyapa ramah dan mempersilakan Mahbub masuk mobilnya. Makin top, sang Gubernur berinisiatif membuka pintu mobilnya. Sambil masuk mobil, Mahbub berkata pada si satpam, “Tuh, bos lu aja bukain pintu buat gue!”. Ia puas sekali berkata begitu.
Di RS Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, ia selalu membagi-bagikan rokok pada pegawai dan satpam. Dari mana dia dapat rokok berbos-bos (slop) itu? Nggak taunya itu rokok kiriman dari Probosutedjo (adik Pak Harto), sang penguasa yang menangkapnya. “Dia bilang, pengen dibawain apa? Ya gue bilang aja, bawain rokok yang banyak.”
Kepada Andi Sahrandi, “Bawain nasi padang. Tapi bungkus ama koran-koran baru yang tebal ya. Gue butuh baca korannya.”
Kenangan lain, Andi menghadiahi mesin tik elektronik. Itu mesin tik sebenarnya pemberian Japto Soerjosoemarno, tokoh Pemuda Pancasila. “Hebat lo, Ndi, bisa kenal Japto,” kata Mahbub saat menerimanya. Tapi kabar dari orang rumah, Kak Abu tidak bisa berdamai dengan mesin tik elektronik itu. Dipencet pelan, hurufnya keluar dobel-dobel, membuatnya keder. Apa boleh buat, Mahbub menyerah dan kembali ke mesin tik tua yang berisik itu.
Beberapa judul tulisannya pun bernada kocak, cerdas dan menggoda untuk dibaca. Contohnya, “Itu Mah Pamali, Itu Mah Mustahil, Kata Ibu Inggit”; “Sungguh Mati, Saya Bukan Sarjana, baik Asli maupun Palsu”; “Menjenguk Mantan”; dan lain-lain.
(Wartawan sekarang kalau bikin judul datar saja. Lebih parah lagi, ngotot berargumen ‘itu tuntutan pola keyword dan medsos’. Mau nulis di mana kek, kalo judul dan tulisannya nggak menarik, ya tetep aja nggak dibaca orang).
Tulisan berjudul “Menjenguk Mantan”, bukan maksudnya mantan pacar, tapi mantan pejabat kelas berat yang sudah lengser. Berikut cuplikannya :
Jika seorang jadi menteri atau gubernur atau bupati, berebutlah orang ingin menemuinya. Tapi begitu beliau berhenti dari jabatan, maka sunyilah para pengunjung.
Ambillah misal, Ibnu Sutowo. Ketika beliau masih jadi Direktur Utama Pertamina, orang menganggapnya dewa yang berdiam di bumi. Dua hari sesudah Ibnu Sutowo lepas dari kedudukan tinggi itu, boleh jadi sayalah tamu pertama yang berkunjung ke rumahnya. Rumah itu sunyi dan Ibnu Sutowo sendiri kaget melihat saya.
“Lho kok bisa masuk?” kata beliau sambil tercengang.
“Ah, gampang saja. Saya sekadar bilang sama anggota Kujang yang jaga di depan, mau ketemu sampeyan. Dan diizinkan. Memangnya kenapa?”
“Lho katanya saya ditahan rumah!”
“Nggak tau. Pokoknya saya boleh masuk dan ketemu.”
“Nanti kalau nggak bisa meninggalkan rumah saya ini bagaimana?”
“Yah, saya nginep di sini,” kata saya sambil tertawa.
Lain lagi tulisan berjudul “Juara Pertama Penataran”. Cuplikannya (Anda harus baca buku aslinya, kocak luar biasa!) :
Kalau tidak salah hitung, dalam hampir dua dasawarsa terakhir, sudah 13 kali aku mengikuti penataran sebagai pegawai negeri. Ada penataran bernama coaching, indoktrinasi Manipol, kader Revolusi, kader Nasakom, Trikora dan Dwikora. Berminggu bahkan berbulan kuikuti dengan tekun, lengkap dengan latihan baris-berbaris, sambil lempar granat, merayap di atas gundukan tanah bagai kepiting batu.
Coaching indoktrinasi Manipol dan Dr. H. Roeslan Abdulgani di Cipayung, awal 1960-an. Ada barangkali setengah jam aku terlongo-longo sehingga nyaris titik air liur, tak habis pikir bagaimana mungkin ada mahluk sepandai beliau.
Kuhirup habis amanat Bung Karno di depan Majelis Umum PBB “Membangun Dunia Kembali”. Bagai lidah api datang menyambar, hangat revolusi membakar sekujur tubuh hingga ujung kuku, sehingga sehabis indoktrinasi, ingin rasanya aku menjungkirkbalikkan isi dunia berikut perabot dan piring mangkuk yang ada di atasnya.
Oleh perjalanan misteri sang waktu yang sukar diperhitungkan, segala rupa coaching dan indoktrinasi dan upgrading Manipol angsur-berangsur kujauhi seperti penyakit kusta. Apa yang pernah kuperoleh tempo hari, kurahasiakan jauh-jauh di dalam kalbu, sebisa mungkin tak diketahui orang, termasuk istri sendiri.
Apa yang lebih penting buat seorang pegawai negeri dari pada pensiun? Jika harimau mati meninggalkan belang, pegawai negeri mati meninggalkan pensiun.
Pancasila, yang telah kukenal belasan tahun, menjadi dekat di hatiku begitu rupa, lebih dekat dari kedua daun telingaku sendiri. Akan halnya pidato lahirnya Pancasila oleh Bung Karno bulan Juni 1945 tidak jadi mata acara di penataran, tidaklah menjadi pikiranku benar, karena mengurusi perkara macam itu tidak akan ada ujung pangkalnya.
Cuplikan berikut, tulisan originalnya benar-benar bikin ngakak. Judulnya “Ihwal Desa”:
Bermula desa tersiram wangi politis – apa boleh buat – gara-gara PKI jua adanya. Ingat slogan “Gayang Tujuh Setan Desa”? Ingat puja-puji “Jika dulu desa serba salah, kini desa serba benar”? Ingat wangsit Lin Piao yang tertuang dalam kalimat “desa mengepung kota”? Sesudah itu desa terus-menerus naik panggung.
Menyusul “Soeharto Anak Desa”. Menyusul “Perawan Desa”. Menyusul “Koran Masuk Desa”, yang mungkin akan lebih baik bunyinya terbalik “Desa Masuk Koran”. Menyusul pencalonan “Kepala Desa”. Andaikata Ronald Reagen mau ikut jadi calon dan terang-terangan dia mengaku dari Partai Republik, saya berani bertaruh dia akan gugur hanya pada tingkat pencalonan saja. Lebih gampang baginya jadi Presiden Amerika Serikat dari pada jadi Kepala Desa Cileungsi.
Menyusul lagi “ABRI Masuk Desa” dan “Listrik Masuk Desa”. Kalau Lenin pernah berucap, “Tanpa listrik tidak ada sosialisme,” apa salahnya kita berucap “Tanpa listrik, sukar memahami, mendalami, dan menghayati Pancasila?” Bagaimana bisa baca koran dan menikmati pemandangan ABRI masuk desa, tanpa listrik?
Kata sahibulhikayat, Inpreslah yang membiayai “Listrik Masuk Desa” itu. Alhamdullilahi rabbil alammin. Dengan kegesitan yang berbau teladan, kepala desa Darmaraja, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang, memukul kentongan memberitahu penduduk 4 bulan yang lalu bahwa presiden akan beri generator pembangkit listrik berkekuatan 40 KVA.
Hanya itu? Tentu saja tidak. Penduduk diharuskan nyetor Rp 10.000,00. Berhubung semangat membangun yang berkobar-kobar, sang kepala desa Darmaraja tidak puas hanya menjadi kepala desa melulu. Dia juga jadi manajer BUUD, dan dia juga kepala proyek listrik itu.
Hasilnya? Sampai hari ini desa Darmaraja masih gelap gulita, sehingga mertua sendiri pun sukar terlihat alis matanya.
BACA JUGA : MAHBUBIAN JAZZ STAINU 2017
Tentang Penulis
Melihat cover buku “Bung, Memoar Tentang Mahbub Djunaidi”, terpampang wajah Sang Pendekar Pena semasa muda, memang plek itu Jack Isfan (begitu saya menyapanya). Jack Isfan adalah Isfandiari MD. Inisial MD adalah singkatan dari Mahbub Djunaidi. Isfandiari adalah putra ke-5 Sang Pendekar Pena.
Pernah bekerja di Kelompok Kompas Gramedia (KKG), menjadi Redaktur Umum di tabloid Motor Plus, majalah Motor dan Bikers. Meski sang ayah penulis kondang di Kompas dan anak emas Jakob Oetama (pendiri Kompas), Isfandiari enggan meminta katabelece ayahnya. Ia menjadi karyawan KKG melalui serangkaian tes resmi, psikotes dan masa percobaan. Lantaran itu pula, di awal-awal kariernya di KKG, tak banyak kawan-kawannya ngeh bahwa singkatan MD adalah Mahbub Djunaidi. Bisa jadi karena beda zaman. Atau juga perbedaan ejaan, ‘Dj’ untuk huruf ‘J’.
Bersama Iwan Rasta, “Bung” adalah buku kedua Isfandiari. Sebelumnya, juga bersama Iwan Rasta, pada 2015 meluncurkan “Outsiders : Kisah Para Penunggang Motor” dan menorehkan kata pengantar di buku “Mahbub Djunaidi, Politik Tingkat Tinggi Kampus”.
Jakob Oetama di tulisan berjudul “Mahbub Djunaidi, Sastrawan Yang Gelisah”, bertutur, “Saya ikut bahagia karena keluarga dan anak-anak Mahbub itu lumayan, mereka pada jadi ‘orang’.”
Jack Isfan memang paling jago meliput dan menulis human-interest. Di Motor Plus, saya masih ingat betul tulisannya yang meliput kampung ‘Alexis’ di Dolly, Surabaya, yang sekarang sudah digusur oleh Walikota Tri Rismaharini. Walau setiap liputan, pejabat editor/redaktur sudah membekali angle tulisan, tapi sebenar-benarnya dan seangle-anglenya berita adalah apa yang terjadi di lapangan. Jack Isfan selalu bisa menyuguhkan tulisan yang asyik dibaca.
Pernah saya mengedit salah satu tulisannya untuk majalah Bikers. Seingat saya, saya ini paling detail dan teliti mengedit tulisan kawan-kawan. Tapi tiba-tiba, Redaktur Artistik, Jack Rofik ‘Ro-Flo’ Firmansyah, datang ke saya dengan membawa tulisannya Jack Isfan. “Will, masa tulisan sepanjang ini nggak ada sub-judulnya? Nggak ada jedanya? Kayak apa nanti lay-outnya? Apa nggak sumpek?” Tek! Saya tersentak. (Tapi barangkali waktu itu saya rada jaim). Saya baru sadar bahwa tadi saya membaca dan menikmati tulisan Jack Isfan, bukan mengedit. Begitulah Jack Isfan. Like father, like son. Titisan Si Bung, Sang Pendekar Pena.
You may also like
NEWS: KUNJUNGAN KH. AFFIFUDDIN MUHAJIR KE KEDIAMAN KH. M. MISBAHUS SALAM,M.Pd.I
FESTIVAL TRADISI ISLAM NUSANTARA PURBALINGGA
Journey Bandung-Majalengka-Kuningan, Purbalingga,Purwokerto
Suzuki Marine Beri Mesin Tempel Kapal
bagi Juara Fishing Tournament Festival Pesona Selat Lembeh 2022DIDUKUNG KEPALA STAF PRESIDEN, FPK GELAR PARADE KERONCONG REMAJA