
Yang mulia Al Ghazali pernah menyampaikan sebuah surat
kepada Sultan Sanjar Saljuqi. Isi surat tentunya bukanlah
silaturahmi semata. Sebagai seorang alim, Al Ghazali punya
tenggung jawab moral untuk menasehati sang raja agar tidak
melenceng, tetap sayang rakyat dan bertaqwa kepada Tuhan, Allah
SWT. Isi suratnya layak direnungkan, beliau mensitir kalimat
suci Baginda Rasulullah Nabi Muhammad SAW,” Sehari yang
dihabiskan seorang raja yang taqwa untuk menyelenggarakan
keadilan, setara dengan 60 tahun yang dihabiskan seorang suci
untuk ibadah dan shalat..” Subhanaallah… ini menujukkan betapa
hebatnya tanggung jawab dan pahala seorang penguasa negeri,
renungan untuk seorang kepala Negara, kepala daerah, calon
legislatif sampai lurah dan kepada desa di tingkat terbawah.
Bayangkan…sehari menyelenggarakan keadilan! Hanya untuk berlaku
adil.., sebagai pemimpin bukanlah pekerjaan yang sulit. Adil
mengikuti suara hati, adil dalam tuntutan agama, adil tanpa
tedeng aling, semata atas dasar ibadah kepada sang khalik. Bukan
mencari ketenaran, bukan mencari penguatan kedudukan, bukan pula
mencari kenikmatan duniawi apapun bentuknya. Apalagi jika sudah
memegang jabatan, tinggal laksanakan dan biarlah Allah yang
menuntaskan proses selanjutnya. Insya Allah berjalan sesuai
takdirnya.
Ganjaran yang bukan alang kepalang, sama dengan 60 tahun
ibadah seorang alim. Artinya, tabungan akhirat sudah berlimpah,
tak ada lagi alasan pintu surga firdaus tertutup jika menemui
ajal kelak. Jalan yang melenggang lurus, menuju kebahagian
kekal! Jika demikian, tak aneh jika sebagian umat berlomba-lomba
menjadi seorang pemimpin. Berjuang menuju tampuk pimpinan
tertinggi negeri, menjadi pejabat daerah, calon legislative
ataupun jabatan kepala desa. Mereka semua adalah ‘raja’raja’
untuk umatnya, walaupun jalan yang ditempuh dijamin berliku
penuh intrik dan menyita energi, penat-lelah dan dana yang harus
dikeluarkan.
Jika sudah digariskan, tak ada yang bisa membendung. Si
Fulan bisa terpilih, dilantik dan akhirnya menjadi seorang raja.
Hari pertama mungkin masih bersyukur dan syukuran ala kadarnya.
Hari kedua masih ngaso mengenang penatnya masa kampanye.
Setelah itu, barulah lebih menghayati lagi sabda Rasulullah soal
1 hari sebanding dengn 60 tahun itu. Alangkah bahagianya seorang
raja jika ia mengingat hal maha penting ini. Sehari saja adil,
setara 60 tahun. Coba bagiamana rasanya jika menyelenggarakan
keadilan selama masa jabatan dipegang, tak ada satu ulamapun
yang bisa menandingin pahala beliau.
Logika sederhananya, 90% pemimpin tahu sabda ini. Tahu
untuk sekadar tahu, mengetahui sebagai pengetahuan atau bahan
share dengan sesama kolega. Untuk tahu yang bersarang di kalbu,
mungkin belum banyak yang mengalami. Pemimpin masih dipandang
sebagai prestise, simbol kesuksesan seseorang. Bukan kesuksesan
untuk bisa tinggal landas melebih amal para ulama, tapi tinggal
landas sebagai orang penting dan punya kekuatan nyata. Padahal,
pemimpin pastinya seorang yang cerdas secara moral dan
inteltual. Jika ia cerdas, tentunya akan berhitung betapa dunia
ini singkat adanya. Betapa laju usia ini cepat sebagaimana
terbit dan tenggelamnya mentari dalam satu hari. ‘Kesingkatan’
ini tentunya jadi berkah tak terhingga bagi para pemimpin
dilihat dari janji pahala yang sedemikian
dahyat:Menyelenggarakan keadilan untuk dapatkan kunci surga yang
telah dijanjikan. Sebuah fasilitas yang tak semua orang punya.
Jadi bersyukurlah wahai pemimpin!